Ensiklopedia Tafsir Al Qur'an

Referensi Kitab Tafsir dari Berbagai Ulama

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah Ayat 1 : Keutamaan Basmalah

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah

Keutamaan Basmalah

"Bismillaahir rahmaanir rahiim" (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.)

Para shahabat membuka kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama sepakat bahwa: bismillaahir rahmaanir rahiim; adalah salah satu ayat dari an-Naml. Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal tiap suratg, ataukah merupakan bagian dari awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antar surah semata, dan bukan merupakan ayat.

Membaca basmalah disunahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunahkan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecil (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudlu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits marfu’ dalam kitab Musnad Ahmad dan kitab-kitab Sunan, dari Abu Hurairah, Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id, Nabi bersabda: “Tidak sempurna wudlu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya.” (Hadits ini Hasan)

Juga disunahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadits dalam shahih Muslim, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah: “Ucapkanlah: bismillahi, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu.”

Demikianlah di antara ulama ada yang mewajibkannya. Disunnahkan pula membacanya ketika hendak berjima’ (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, dari Ibnu ‘Abbass saw. bahwa RAsulullah saw. pernah bersabda: “Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri istrinya membaca: bismillaahi allaahumma janabnasy syaithaana, wa jannabisy syaithaana maa razaqtanaa (Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami), jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu syaitan selamanya.”

Kata “Allah” merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-Ismul-a’dham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat. Sebagaimana firman Allah: Huwallaahulladzii laa ilaaha illaa huwa ‘aalimul ghaibi wasy-syahaadati huwar rahmaanur rahiim (“Dialah Allah yang tiada ilah [yang berhak diibadahi] selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Dialah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”)(al-Hasyr: 22)

Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai 99 [sembilan puluh sembilan] nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga.”

Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Mahasuci dan Mahatinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (:Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar.

Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama di antaranya Imam asy-Syafi’i, al-Khaththabi, Imamul Haramain, al-Ghazali dan lain-lain.

Dai al-Khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa “alief” dan “lam” dalam kata “Allah” merupakan sesuatu yang lazim (tidak terpisah). Al-Khathahtabi mengatakan: “Tidaklah anda menyadari bahwa anda dapat menyeru: “Yaa Allaahu.” Dan tidak dapat menyerukan: “Yaa Rahmaanu.” Kalau kata “Allah” bukan kata yang masih asli, maka tidak boleh memasukkan huruf nida’ (seruan) terhadap “alif” dan “lam”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Allah itu mempunyai kata dasar.”

Arrahmaanir rahiim: merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-Rahmah. Namun kata ar-Rahman lebih menunjukkan makna yang daripada kata arrahiim.

Al-Qurthubi mengatakan: “Dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadits riwayat at-Tirmidzi, dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahim-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun akan menentangnya.

Abu ‘Ali al-Farisi mengatakan: “Ar-Rahman merupakan nama yang bersifat umum meliputi segala macam bentuk rahmat, nama ini dikhususkan bagi Allah semata. Sedangkan ar-Rahim, memberikan kasih sayang hanya kepada orang-orang yang beriman.” Berkenaan dengan ini, Allah berfirman: wa kaana bil mu’miniina rahiiman (“Dan Dia-lah yang Mahapenyayang kepada orang –orang yang beriman.”)(al-Ahzab: 43)

Ibnu al-Mubarak mengatakan: “Ar-Rahman yaitu jika diminta, maka Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, maka Dia akan murka. Sebagaimana dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzi, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya.”

Nama “ar-Rahman” hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru. Dia mempunyai al-Asmaa’ul Husna [nama-nama yang terbaik].” (al-Israa’: 110)

Oleh karena itu ketika dengan sombongnya Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan Rahman al-Yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab [Musailamah si pendusta].

Sedangkan mengenai “ar-Rahiim”, Allah pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya. Dalam firman-Nya, Allah menyebutkan: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaum-mu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain Diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya. Sebagaimana firman-Nya: Innaa khalaqnal insaana min nuthfatin amsyaajin nabtaliihi faja-‘alnaaHu samii-‘am bashiiran (“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya [dengan perintah dan larangan], karena itu Kami jadikan ia sami’an [mendengar] dan bashiiran [melihat])(al-Insaan: 2)

Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapi ada juga yang tidak disebutkan untuk selain diri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq dan lain-lainnya.

Oleh karena itu Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim.

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah (bagian 5) Hamdalah

1 comment:

  1. mau tanya ustadz, apakah dalam membaca basmalah ini boleh di dalam hati seiring niat, syukron

    ReplyDelete