Ensiklopedia Tafsir Al Qur'an

Referensi Kitab Tafsir dari Berbagai Ulama

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah Ayat 2 : Hamdalah

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah (ayat 2) Hamdalah

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiiin (“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.”)

Al-Qurra as-Sab’ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat dlammah pada huruf "dal" pada kalimat alhamdulillaah, yang merupakan mubtada’ (subyek) dan khabar (predikat).

Abu Ja’far bin Jarir mengatakan: “Alhamdulillah berarti syukur kepada Allah swt. semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorangpun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk mentaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya. Selain itu, pemberian rizky kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan, yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir.”

Ibnu Jarir mengatakan: “Alhamdulillaah; merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan: ‘Ucapkanlah, alhamdulillaah."

Lanjut Ibnu Jarir: “Telah dikenal di kalangan para ulama muta-akhkhirin, bahwa al-hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun asy-syukru tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair: “Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam. Yaitu melalui tangankku, lisanku dan hatiku yang tidak tampak ini.”

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nama yang lebih umum, alhamdu ataukah asysyukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum dari asysyukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan juga pihak lain, misalnya anda katakan: “Aku memujinya (alhamdu) karena sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanan nya.” Tetapi juga lebih khusus, karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syakru lebih umum daripada alhamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan dan juga niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih kepadanya atas sifatnya yang kesatria, namun bisa dikatakan aku berterima kasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
Demikian itu yang disimpulkan oleh sebagian ulama muta-akhkhirin, wallaahu a’lam.

Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari’ beliau berkata: “Aku berkata kepada Nabi saw: ‘Ya Rasulallah, maukah engkau aku bacakan puji-pujian yang dengannya aku memuji Rabb-ku, Allah Tabaaraka wa Ta’ala.’ Maka beliau bersabda: ‘Tentu saja, [sesungguhnya] Rabb-mu menyukai pujian [alhamdu].’” (HR Imam Ahmad dan an-Nasa-i)

Diriwayatkan oleh Abu ‘Isa, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik dzikir adalah kalimat laa ilaaha illaallaah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillaah.”

Menurut at-Tirmidzi, hadits ini hasan gharib. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan ‘alhamdulillaaH’, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari pada apa yang diambilnya-Nya.”

“Alif” dan “lam” pada kata “alhamdu” dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu, hanya untuk Allah semata.

Arrabbu” adalah pemilik, penguasa dan pengendali. Menurut bahasa, kata “Rabb” ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semuanya itu benar bagi Allah Ta’ala. Kata “arrabb” tidak digunaka untuk selain dari Allah kecuali jika disambung dengan kata lain setelahnya, misalnya “rabbuddaari” (pemilik rumah). Sedangkan kata “ar-Rabb” (secara mutlak), hanya boleh digunakan untuk Allah. Ada yang mengatakan bahwa “Ar-rabb” itu merupakan nama yang agung (as-Ismul A’zham). 

Sedangkan “al‘aalamiin” adalah bentuk jamak dari kata “’aalimun” yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah. “‘aalamun” merupakan bentuk jamak yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. “al-‘awaalimun” berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan maupun lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.

Bisyr bin ‘Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adl-Dlahhak dari Ibnu ‘Abbas: “Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.”

Az-Zajjaj mengatakan: “al‘aalamu berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat.” Sedangkan al-Qurthubi mengatakan: “Apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).

Menurut Ibnu Katsir, “al‘alamu” berasal dari kata “al‘alaamatun”, karena alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-Mu’taz pernah mengatakan: “Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bias mendurhakai Rabb, atau mengingkari-Nya, padahal dalam setiap segala sesuatu terdapa ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.”

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fatihah (ayat 3)

1 comment: