Ensiklopedia Tafsir Al Qur'an

Referensi Kitab Tafsir dari Berbagai Ulama

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Maidah Ayat 38-40

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Maidah Ayat 38-40

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksa. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, memutuskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dipotong. 

As-Sauri meriwayat­kan dari Jabir ibnu Yazid Al-Ju'fi, dari Amir ibnu Syarahil Asy-Sya'bi. bahwa sahabat Ibnu Mas'ud di masa lalu membaca ayat ini dengan baca­an berikut: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya.

Tetapi qiraah ini dinilai syazzah (asing), sekalipun hukumnya menurut semua ulama sesuai dengan makna bacaan tersebut: tetapi bukan karena atas dalil bacaan itu, karena sesungguhnya dalil (memotong tangan kanan) diambil dari yang lain.

Dahulu di masa Jahiliah hukum potong tangan ini berlaku, kemudian disetujui oleh Islam dan ditambahkan kepadanya syarat-syarat lain, seper­ti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan qisamah, diat, qirad, dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyem­purnakan kemaslahatan.

Menurut suatu pendapat, orang yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa Jahiliah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang lelaki yang dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Khuza'ah, karena mencuri harta perbendaharaan Ka'bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.

Sebagian kalangan ulama fiqih dari mazhab Zahiri mengatakan, "Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong, tanpa memandang apakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak," karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah: 38)

Mereka tidak mempertimbangkan adanya nisab dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang dicuri, bahkan mereka hanya memandang dari delik pencuriannya saja.

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah: 38); Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, "Ayat ini mengandung makna umum." 

Hal ini barangkali merupakan suatu kebetulan dari Ibnu Abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (mazhab Zahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya; hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mereka berpegang kepada sebuah hadits yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam telah bersabda: Semoga Allah melaknat pencuri; yang mencuri telur, maka tangannya dipotong; dan mencuri tali, maka tangannya dipotong.

Jumhur ulama mempertimbangkan adanya nisab dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih Diperselisihkan di kalangan mereka.

Masing-masing dari mazhab yang empat mempunyai pendapatnya sendiri.

Menurut Imam Malik ibnu Anas, nisab hukum potong tangan adalah tiga keping uang perak (dirham) murni. Apabila seseorang mencuri sesuatu yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih, maka tangannya harus dipotong. Imam Malik mengatakan, pendapatnya ini berdalilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi', dari Ibnu Umar radliyallohu anhu: Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam melakukan hukum potong tangan dalam kasus pencurian sebuah tameng yang harganya tiga dirham.

Hadits diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain. 

Imam Malik mengatakan bahwa Khalifah Usman radliyallohu anhu pernah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah utrujjah (jeruk bali) yang harganya ditaksir tiga dirham. Asar ini -menurut Imam Malik- merupakan asar yang paling disukainya mengenai hal tersebut.

Asar ini bersumberkan dari Khalifah Usman radliyallohu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, dari Amrah binti Abdur Rahman, bahwa di masa pemerintahan Khalifah Usman pernah ada seseorang mencuri buah utrujjah (jeruk bali). Maka Khalifah Usman memerintahkan agar barang yang dicuri itu ditaksir harganya. Ketika dilakukan penaksiran, ternyata harganya mencapai tiga dirham menurut harga lama, sedangkan menurut harga sekarang sama dengan dua belas dirham. Maka Khalifah Usman memotong tangan pelakunya.

Para pendukung Imam Malik mengatakan bahwa keputusan yang semisal telah terkenal dan tiada yang memprotesnya, permasalahannya sama dengan ijma' sukuti.

Di dalam asar ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah, hal ini berbeda dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi. Dan berdasarkan pertimbangan tiga dirham, berbeda pula dengan mereka (mazhab Hanafi), karena mereka menetapkan bahwa nisab-nya harus mencapai sepuluh dirham. Sedang­kan menurut pertimbangan mazhab Syafii, jumlah yang harus dicapai adalah seperempat dinar.

Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang dijadikan standar dalam menjatuhkan sanksi hukum potong tangan atas pencuri adalah seperempat dinar, atau uang atau barang yang seharga seperempat dinar hingga lebih.

Dalil yang dijadikan pegangan dalam hal ini ialah sebuah hadits yang diketengahkan oleh Syaikhan, yaitu Imam Bukhari dan Imam Mus­lim, melalui Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah radliyallohu anhu, bahwa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam telah bersabda: Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar (atau sesuatu yang senilai dengannya atau yang berupa barang yang senilai dengannya) hingga selebihnya.

Menurut riwayat Imam Muslim melalui jalur Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah, dari Aisyah radliyallohu anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam pernah bersabda: Tangan pencuri tidaklah dipotong kecuali karena mencuri seperempat dinar hingga lebih.

Teman-teman kami mengatakan bahwa hadits ini merupakan penyelesai­an dalam masalah yang bersangkutan, dan merupakan nas yang menyata­kan seperempat dinar sebagai nisab-nya, bukan selainnya.

Mereka mengatakan, hadits yang menyebutkan perihal harga sebuah tameng -yang menurut taksiran seharga tiga dirham- pada kenyataannya tidak bertentangan dengan hadits ini, mengingat saat kejadiannya nilai satu dinar sama dengan dua belas dirham. Jika dikatakan tiga dirham, berarti sama dengan seperempat dinar. Dengan demikian, berarti keduanya dapat digabungkan melalui analisis ini.

Pendapat ini telah diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, Usman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Thalib. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Lais ibnu Sa'd, Al-Auza'i, Imam Syafii dan semua muridnya, Ishaq ibnu Rahawaih menurut suatu riwayat darinya, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri.

Imam Ahmad ibnu Hambal berpendapat, begitu pula Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat yang bersumberkan darinya, bahwa masing-masing dari kedua pendapat yang mengatakan seperempat dinar dan tiga dirham mempunyai dalil syar'i-nya.. Maka barang siapa yang mencuri seharga salah satu dari keduanya atau yang senilai dengannya, dikenai hukum potong tangan, karena berdasarkan hadits Ibnu Umar dan hadits Aisyah radliyallohu anhu Menurut suatu lafaz dari Imam Ahmad yang bersumberkan dari Siti Aisyah, Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam pernah bersabda: Lakukanlah hukum potong tangan karena seperempat dinar, dan jangan kalian lakukan hukum potong tangan karena (mencuri) sesuatu yang lebih rendah dari itu.

Dahulu nilai seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar sama dengan dua belas dirham. 

Menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut: Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri sesuatu yang harganya lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Ketika ditanyakan kepada Siti Aisyah radliyallohu anhu tentang harga sebuah tameng di masa lalu, ia menjawab, "Seperempat dinar." 

Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan nas-nas yang menunjukkan tidak adanya syarat sepuluh dirham (bagi hukuman potong tangan untuk pencuri).

Adapun Imam Abu Hanifah dan semua muridnya -yaitu Abu Yusuf, Muhammad serta Zufar- , demikian pula Sufyan As-Sauri, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa nisab kasus pencurian adalah sepuluh dirham mata uang asli, bukan mata uang palsu. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan bahwa harga sebuah tameng ketika tangan seorang pencuri dipotong karena mencurinya di masa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam adalah sepuluh dirham.

Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Ayyub ibnu Musa, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa harga sebuah tameng di masa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam adalah sepuluh dirham.

Kemudian Ia mengatakan: Telah mence­ritakan kepada kami Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam pernah bersabda: Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri senilai lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Dahulu harga sebuah tameng (perisai) adalah sepuluh dirham.

Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan Abdullah ibnu Amr berbeda pendapat dengan Ibnu Umar tentang masalah harga perisai. Maka untuk tindakan preventifnya ialah mengambil pendapat mayoritas, karena masalah-masalah yang menyangkut hukuman had harus ditolak dengan hal-hal yang syubhat.

Sebagian ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa tangan seorang pencuri dipotong karena mencuri sepuluh dirham atau satu dinar atau sesuatu yang harganya senilai dengan salah satu dari keduanya. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, dan Abu Ja'far Al-Baqir.

Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kecuali karena mencuri lima dinar atau lima puluh dirham. Pendapat ini dinukil dari Sa'id ibnu Jubair.

Sedangkan jumhur ulama membantah pegangan dalil mazhab Zahiri yang bersandarkan kepada hadits Abu Hurairah radliyallohu anhu yang mengatakan: Dia mencuri sebuah telur, maka tangannya dipotong; dan dia mencuri seutas tali maka tangannya dipotong.

melalui jawaban-jawaban berikut, yaitu: 

Pertama hadits tersebut telah di-mansukh oleh hadits Siti Aisyah. Tetapi sanggahan ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat tarikh penanggalannya harus dijelaskan.

Kedua, makna lafaz al-baidah dapat diinterpretasikan dengan pengertian 'topi besi", sedangkan tali yang dimaksud ialah tali perahu. Demikianlah menurut alasan yang dikemukakan oleh Al-A'masy melalui riwayat Imam Bukhari dan lain-lainnya, dari Al-A'masy.

Ketiga, bahwa hal ini merupakan sarana yang menunjukkan pengertian bertahap dalam menangani kasus pencurian, yaitu dimulai dari sedikit sampai jumlah yang banyak, yang mengakibatkan pelakunya dikenai hukum potong tangan karena mencuri dalam jumlah sebanyak itu.

Dapat diinterpretasikan pula bahwa apa yang disebutkan di dalam hadits merupakan suatu berita tentang keadaan yang pernah terjadi di masa Jahiliah. Mengingat mereka menjatuhkan hukum potong tangan dalam kasus pencurian, baik sedikit maupun banyak, maka si pencuri melaknatnya karena dia menyerahkan tangannya yang mahal hanya karena sesuatu yang tidak berarti.

Mereka telah meriwayatkan bahwa Abul Ala Al-Ma'arri ketika tiba di Bagdad dikenal telah mengemukakan suatu hal yang sulit menurutnya kepada ulama fiqih, karena mereka menetapkan nisab pencurian seperempat dinar. Lalu ia menyusun sebuah syair mengenai hal tersebut yang pada intinya menunjukkan kebodohannya sendiri dan keminiman pengetahuannya tentang agama. Dia mengatakan: Diat (potong) tangan adalah lima ratus kali dua keping emas, tetapi mengapa tangan dipotong karena mencuri seperempat dinar? Ini suatu kontradiksi, tiada lain bagi kami kecuali diam terhadapnya dan memohon perlindungan kepada Tuhan kami dari siksa neraka.

Ketika Abul Ala mengucapkan syairnya itu dan syairnya dikenal orang, maka para ulama fiqih mencari-carinya, akhirnya dia melarikan diri dari kejaran mereka.

Kemudian orang-orang menjawab ucapan tersebut. Jawaban yang dikemukakan oleh Al-Qadi Abdul Wahhab Al-Maliki yaitu "manakala tangan dapat dipercaya, maka harganya mahal; dan manakala tangan berkhianat, maka harganya menjadi murah".

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang sempurna, maslahat, dan rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya di dalam Bab 'Tindak Pidana (Pelukaan)" sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan hingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab "Pencurian" sangatlah sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah seperempat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal. Karena itulah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah: 38)

Yakni sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh kedua tangannya yang berani mengambil harta orang lain secara tidak sah. Maka sangatlah sesuai bila kedua tangan yang dipakai sebagai sarana untuk tindak pidana pencurian itu dipotong.

Sebagai siksaan dari Allah. (Al-Maidah: 38)

Yaitu sebagai balasan dari Allah terhadap keduanya karena berani melakukan tindak pencurian.

Dan Allah Mahaperkasa. (Al-Maidah: 38)

Yakni dalam pembalasan-Nya.

Lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah: 38)

Yaitu dalam perintah dan larangan-Nya, serta dalam syariat dan takdir­Nya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguh­nya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengam­pun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 39)

Yakni barang siapa sesudah melakukan tindak pidana pencurian, lalu bertobat dan kembali kepada jalan Allah, sesungguhnya Allah menerima tobatnya, menyangkut dosa antara dia dan Allah. Adapun mengenai harta orang lain yang telah dicurinya, maka dia harus mengembali­kannya kepada pemiliknya atau menggantinya (bila telah rusak atau terpakai). Demikianlah menurut takwil yang dikemukakan oleh jumhur ulama.

Imam Abu Hanifah mengatakan, "'Manakala pelaku pencurian telah menjalani hukum potong tangan, sedangkan barang yang dicurinya telah rusak di tangannya, maka dia tidak dibebani mengembalikan gantinya."

Al-Hafiz Abul Hasan Ad-Daraqutni telah meriwayatkan sebuah hadits melalui Abu Hurairah: Bahwa didatangkan kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam seorang yang telah mencuri sebuah kain selimut. Maka Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: "Aku tidak menyangka dia mencuri." Si pencuri menjawab, "Memang benar, saya telah mencuri, wahai Rasulullah.”Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Bawalah dia dan potonglah tangannya, kemudian obatilah dan hadapkanlah dia kepadaku.” Setelah tangannya dipotong, lalu ia dihadapkan lagi kepada Nabi Shollallohu alaihi wa sallam Maka Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Bertobatlah kamu kepada Allah!" Si pencuri menjawab, "Aku telah bertobat kepada Allah.”Nabi Shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Allah menerima tobatmu."

Hadits ini telah diriwayatkan melalui jalur lain secara mursal. Hadits yang berpredikat mursal dinilai kuat oleh Ali ibnul Madini dan Ibnu Khuzaimah.

Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui hadits Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abdur Rahman ibnu Sa'labah Al-Ansari, dari ayahnya, bahwa Umar ibnu Samurah ibnu Habib ibnu Abdu Syams datang kepada Nabi Shollallohu alaihi wa sallam, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguh­nya aku telah mencuri seekor unta milik Bani Fulan, maka bersihkanlah diriku." Lalu Nabi Shollallohu alaihi wa sallam mengirimkan utusan kepada mereka (Bani Fulan), dan ternyata mereka berkata, "Sesungguhnya kami kehilangan seekor unta milik kami." Maka Nabi Shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan agar dilakukan hukum potong tangan terhadap Umar ibnu Samurah. Lalu tangan Umar ibnu Samurah dipotong, sedangkan Umar ibnu Samurah berkata (kepada tangannya): Segala puji bagi Allah Yang telah membersihkan diriku darimu, kamu hendak memasukkan tubuhku ke dalam neraka.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Huyay ibnu Abdullah ibnu Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang telah menceritakan bahwa seorang wanita mencuri sebuah perhiasan, lalu orang-orang yang kecurian olehnya datang menghadap Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, wanita ini telah mencuri milik kami." Maka Rasulullah Saw bersabda : Potonglah tangan kanannya (Setelah menjalani hukum potong tangan) wanita itu bertanya, "Apakah masih ada jalan untuk bertobat?" Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Engkau sekarang (terbebas) dari dosamu sebagaimana keadaan­mu di hari ketika kamu dilahirkan oleh ibumu. Abdullah ibnu Amr melanjutkan kisahnya, "Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri. maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'(Al-Maidah: 39)."

Imam Ahmad telah meriwayatkan hal yang lebih sederhana dari itu. Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa seorang wanita pernah melakukan pencurian di masa Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam Lalu orang-orang yang kecurian olehnya membawanya datang menghadap Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita ini telah mencuri barang kami." Lalu kaumnya berkata, "Taksirlah kerugian yang diakibatkannya, kami bersedia menebusnya." Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Potonglah tangannya! Mereka (kaumnya) berkata, "Kami bersedia menebusnya dengan yang sebanyak lima ratus dinar." Tetapi Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Potonglah tangannya! Maka tangan kanan wanita itu dipotong. Lalu wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah masih ada tobat bagiku?" Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Ya, pada hari ini engkau terbebas dari dosamu sebagaimana keadaanmu ketika dilahirkan oleh ibumu. Maka Allah menurunkan firman-Nya di dalam surat Al-Maidah, yaitu: Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesu­dah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 39).

Wanita yang disebutkan di dalam hadits ini berasal dari Bani Makhzum, hadits yang menceritakan perihal dia disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Disebutkan bahwa orang-orang Quraisy merasa kesusahan dalam menangani kasus pen­curian yang dilakukan oleh seorang wanita (dari kalangan mereka) pada masa Nabi Shollallohu alaihi wa sallam, tepatnya di masa perang kemenangan atas kota Mekah.

Mereka berkata, "Siapakah yang berani meminta grasi kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam untuknya?" Mereka menjawab, 'Tiada yang berani meminta grasi kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam kecuali Usamah ibnu Zaid, orang kesayangan Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam" Kemudian wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam, lalu Usamah berbicara kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam, meminta grasi untuk wanita itu. Maka Wajah rasulullah berbubah memerah. Lalu bersabda : Apakah kamu berani meminta grasi menyangkut suatu hukuman had yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala ? Maka Usamah ibnu Zaid berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun kepada Allah untukku." Kemudian pada sore harinya Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam berdiri dan berkhot­bah. Pada mulanya beliau membuka khotbahnya dengan pujian kepada Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda: Amma Ba'du. Sesungguhnya telah binasa orang-orang (umat-umat) sebelum kalian hanyalah karena bilamana ada seseorang yang terhormat dari kalangan mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Dan bilamana ada seorang yang lemah (orang kecil) dari kalangan mereka mencuri, maka mereka menegakkan hukuman had terhadapnya. Dan sesungguhnya aku sekarang, demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan­nya, seandainya Fatimah binti Muhammad (yakni putrinya) mencuri, niscaya aku potong tangannya. Kemudian wanita yang telah mencuri itu diperintahkan untuk dijatuhi hukuman, lalu tangannya dipotong. Siti Aisyah mengatakan bahwa sesudah itu wanita tersebut melakukan tobatnya dengan baik dan menikah; lalu dia datang dan melaporkan mengenai kemiskinan yang dialaminya kepada Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam 

Demikian menurut lafaz yang ada pada Imam Muslim.

Menurut lafaz lain yang juga ada pada Imam Muslim, dari Siti Aisyah, disebutkan bahwa Siti Aisyah mengatakan, "Pada mulanya wanita dari kalangan Bani Makhzum itu meminjam sebuah barang, lalu dia mengingkarinya, maka Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan agar tangannya dipotong." 

Ibnu Umar menceritakan, bahwa dahulu ada seorang wanita dari kalangan Bani Makhzum meminjam sebuah barang melalui orang lain, lalu dia mengingkarinya, maka Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan agar tangannya dipotong. Imam Ahmad dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya dan demikianlah bunyi lafaznya.

Menurut lafaz yang lain, seorang wanita meminjam perhiasan milik orang lain, kemudian ia memilikinya. Maka Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Hendaklah wanita ini bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengembalikan apa yang telah diambilnya kepada kaum yang memilikinya. Kemudian Rasulullah Shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Bangkitlah kamu, hai Bilal; dan peganglah tangannya, lalu potonglah.

Hukum-hukum mengenai pencurian ini diketengahkan oleh banyak hadits yang semuanya disebutkan di dalam kitab fiqih. 

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. (Al-Maidah: 40)

Yakni Dialah yang memiliki semuanya itu dan yang menguasainya, tiada akibat bagi apa yang telah diputuskan-Nya, dan Dia Maha Melakukan semua apa yang dikehendaki-Nya.

Disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya Dan Allah Mahakuasa atas segala 

Selanjutnya,
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Maidah Ayat 41-44

No comments:

Post a Comment